Putusan MK: Jaksa Tertangkap Tangan Tak Perlu Izin Jaksa Agung
TrenHarapan – Langkah Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian uji materi terhadap Undang-Undang Kejaksaan menjadi sinyal penting dalam penguatan supremasi hukum di Indonesia. Dalam perkara nomor 15/PUU-XXIII/2025, MK menetapkan bahwa penangkapan terhadap jaksa yang tertangkap tangan melakukan tindak pidana tidak lagi memerlukan izin dari Jaksa Agung. Secara praktis, ini menghapus hambatan prosedural yang sebelumnya dapat menghambat proses hukum berjalan cepat dan transparan. Keputusan ini tidak hanya menjadi kemenangan bagi para pemohon, tapi juga bagi masyarakat yang mendambakan sistem hukum tanpa celah impunitas.
asal 8 Ayat 5: Antara Kekuasaan dan Pengawasan
Pasal 8 Ayat 5 UU Kejaksaan awalnya mengharuskan adanya izin Jaksa Agung untuk memanggil atau menangkap seorang jaksa, bahkan jika terdapat dugaan kuat pelanggaran hukum. Dalam praktiknya, ketentuan ini bisa saja dimanfaatkan untuk menghalangi penyidikan, terutama jika yang bersangkutan memiliki pengaruh atau koneksi. MK dengan bijak memberikan pengecualian: jika jaksa tertangkap tangan atau diduga keras melakukan kejahatan berat, izin tersebut tidak diperlukan. Menurut saya pribadi, keputusan ini memperlihatkan komitmen MK untuk menyeimbangkan wewenang dan akuntabilitas dalam tubuh kejaksaan.
“Baca Juga : PMI Sumatera Utara Jadi Korban Penipuan di Kamboja”
Dampak Langsung terhadap Penegakan Hukum
Putusan MK ini memiliki dampak jangka pendek dan panjang terhadap sistem peradilan. Dalam jangka pendek, aparat penegak hukum seperti KPK atau Polri akan lebih leluasa dalam menindak jaksa yang terlibat kasus pidana tanpa khawatir terganjal izin struktural. Dalam jangka panjang, hal ini diharapkan dapat menciptakan budaya kerja yang lebih bersih di lingkungan kejaksaan. Ketika jaksa tahu bahwa mereka bisa langsung ditangkap jika tertangkap tangan, akan timbul efek jera yang lebih kuat. Ini juga mencerminkan bahwa tidak ada institusi yang kebal hukum.
Kritik dan Kekhawatiran: Apakah Bisa Disalahgunakan?
Meski mayoritas pihak menyambut baik putusan ini, tetap ada kekhawatiran di kalangan tertentu. Salah satunya adalah potensi penyalahgunaan oleh aparat penegak hukum terhadap jaksa yang sedang menangani kasus sensitif. Dalam perspektif itu, pengecualian ini harus diterapkan secara objektif, dengan pengawasan ketat dan mekanisme evaluasi yang adil. Transparansi menjadi kunci agar keputusan ini tidak menjadi alat politisasi atau tekanan antar-lembaga penegak hukum. Oleh karena itu, penguatan lembaga pengawas eksternal juga penting sebagai penyeimbang yang adil.
Pasal 35 Ayat 1 Huruf e: Dibatalkan, Lalu Apa Dampaknya?
Selain Pasal 8, MK juga membatalkan ketentuan Pasal 35 ayat 1 huruf e terkait wewenang Jaksa Agung dalam memberikan pertimbangan teknis kepada Mahkamah Agung dalam konteks pengadilan koneksitas. Pembatalan ini penting karena dianggap memberi ruang intervensi eksekutif ke ranah yudikatif. Dalam kacamata konstitusional, ini jelas melanggar prinsip pemisahan kekuasaan. Dengan dihapusnya pasal ini, jalur komunikasi antara Kejaksaan dan MA akan lebih netral, menghindari potensi konflik kepentingan dalam pengambilan keputusan peradilan.
Momentum Reformasi Hukum yang Harus Dijaga
Putusan ini bukan sekadar koreksi terhadap pasal dalam UU Kejaksaan, tapi juga bisa dilihat sebagai titik balik untuk memperkuat reformasi hukum di Indonesia. Kejaksaan adalah salah satu pilar utama penegakan hukum, dan pengawasan terhadap lembaga ini harus seimbang antara kepercayaan dan kontrol. Sebagai masyarakat, kita harus terus mengawal implementasi putusan ini agar tidak hanya menjadi wacana legal semata. Menurut saya, keputusan MK kali ini menunjukkan arah pembaruan hukum yang sehat, meski pelaksanaannya tentu tetap membutuhkan pengawasan serius.