Banjir dan Longsor Sumbar 2025: Luka Kolektif di Tanah Minang
TrenHarapan – Hujan dengan intensitas sedang hingga berat yang mengguyur Sumatera Barat pada 22–27 November 2025 memicu rangkaian bencana Banjir dan Longsor yang menghantam banyak wilayah. BNPB mencatat, hingga 28 November pagi, ada tujuh kabupaten/kota yang terdampak. Intensitas hujan yang berlangsung terus-menerus membuat tanah jenuh air dan sungai meluap tanpa mampu menahan debit aliran. Banyak warga tidak menduga hujan yang tampak biasa itu berubah menjadi bencana yang merenggut rumah, ladang, serta rasa aman mereka. Suasana malam yang awalnya tenang berubah menjadi kepanikan ketika air naik begitu cepat. Dalam situasi ini, masyarakat bergerak saling membantu, meski rasa takut dan ketidakpastian menyelimuti. Bencana kali ini mengingatkan bahwa perubahan iklim semakin nyata dan wilayah rawan seperti Sumbar membutuhkan kewaspadaan ekstra setiap musim penghujan datang.
Padang Pariaman Menjadi Wilayah Paling Terdampak
Kabupaten Padang Pariaman tercatat sebagai wilayah dengan dampak paling luas pada rangkaian bencana kali ini. Sebanyak 13 kecamatan terdampak longsor, sementara 11 kecamatan lainnya digempur banjir. Kerusakan material pun tak terhindarkan, mulai dari jalan yang rusak, talud jebol, hingga fasilitas pendidikan yang ikut terdampak. Banyak warga kehilangan akses menuju rumah atau lahan mereka akibat ruas jalan yang tertutup material longsor. Di beberapa titik, jembatan hanyut dan bendungan rusak, membuat aktivitas masyarakat lumpuh total. Warga yang biasa mengandalkan sawah dan ladang kini menghadapi kenyataan pahit: tanah yang mereka rawat bertahun-tahun tertimbun lumpur dan batu. Dalam suasana mencekam ini, solidaritas masyarakat Minang kembali terlihat. Mereka saling menopang, meski rasa kehilangan tak dapat disembunyikan.
“Baca Juga : Meningkatnya Restitusi Pajak dan Fenomena Penunggang Gelap yang Terungkap DJP”
Agam dan Pesisir Selatan Dilanda Banjir Besar
Kabupaten Agam mengalami banjir pada 23 November dengan empat kecamatan terdampak. Lebih dari 600 jiwa terpaksa mengungsi demi keselamatan. Namun, kondisi lebih berat dialami Kabupaten Pesisir Selatan. Sembilan kecamatan dan 50 nagari terdampak banjir, dengan lebih dari 11.600 jiwa terkena imbasnya. Satu warga dilaporkan hilang, menambah pilu dalam bencana ini. Rumah-rumah terendam, fasilitas pendidikan dan ibadah rusak, serta jalan dan jembatan putus. Banyak keluarga hanya sempat menyelamatkan dokumen dan pakaian seadanya, meninggalkan rumah yang terendam hingga atap. Banjir besar ini memaksa ribuan orang hidup di posko, bergantung pada bantuan yang datang bergelombang. Meski situasi sulit, banyak warga tetap berusaha menjaga semangat dengan saling menguatkan, menunjukkan bahwa harapan tetap ada bahkan di tengah keterpurukan.
Gelombang Bencana Berlanjut di Lima Puluh Kota dan Kota Padang
Pada 24 November, Kabupaten Lima Puluh Kota ikut merasakan dampak banjir dengan tiga kecamatan terdampak. Meski jumlahnya tidak sebesar daerah lain, kerusakan rumah dan lahan tetap menyisakan duka. Banjir lalu bergerak ke Kota Padang pada 25 November, menggenangi empat kecamatan dan memaksa puluhan keluarga mengungsi. Banyak warga menceritakan bagaimana air datang perlahan namun pasti, membuat mereka harus memilih barang apa yang bisa diselamatkan dalam hitungan menit. Situasi semakin sulit bagi warga yang rumahnya berada dekat aliran sungai, karena arus deras mengikis tepi sungai dan menciptakan ketakutan baru. Dalam kondisi itu, relawan dan warga bergerak cepat membentuk dapur umum dan membantu evakuasi, menegaskan bahwa kekuatan komunitas menjadi penyokong utama saat bencana menghantam tanpa peringatan.
Kota Solok Menutup Deretan Bencana dengan Ribuan Warga Terdampak
Bencana masih berlanjut pada 27 November ketika Kota Solok dilanda banjir yang menggenangi dua kecamatan dan delapan desa. Lebih dari 3.300 warga terdampak dan 224 rumah terendam. Banyak keluarga harus meninggalkan rumah yang selama ini menjadi tempat mereka merasa aman. Kini, mereka harus hidup dalam ketidakpastian sambil menanti air surut dan berharap kerusakan tidak terlalu besar. Di beberapa desa, banjir merendam dapur, kamar tidur, hingga perabotan rumah tangga yang menjadi bagian kehidupan sehari-hari. Meski begitu, warga tetap berusaha berdiri tegar. Mereka berbagi makanan, cerita, dan kekuatan di tengah situasi yang sulit. Banjir di Solok menjadi penanda bahwa bencana ini meluas dan menyentuh banyak hati, memperlihatkan betapa rapuhnya manusia di hadapan alam.
“Simak Juga : Mengapa Foodcourt Selalu Berada di Lantai Teratas Mal? Ini Alasan Sebenarnya”
Kerugian Material yang Meluas dan Dampaknya pada Kehidupan Warga
Data BNPB menunjukkan kerugian material yang sangat besar, mulai dari ribuan rumah terdampak, fasilitas publik rusak, hingga area persawahan dan perkebunan yang hancur. Di Padang Pariaman saja, lebih dari 3.400 rumah terendam dan puluhan lainnya rusak berat atau hanyut. Sawah dan ladang ikut terendam lumpur, memukul ekonomi keluarga yang bergantung pada hasil panen. Beberapa fasilitas pendidikan rusak sehingga anak-anak kehilangan ruang belajar. Jalan-jalan dan jembatan yang putus juga mengisolasi desa-desa tertentu, menyulitkan distribusi bantuan. Kerugian ini bukan sekadar angka; ia adalah cerita tentang keluarga yang kehilangan pendapatan, anak yang kehilangan sekolah, dan masyarakat yang kehilangan rasa aman. Setiap kerusakan membawa beban emosional yang berat, menunjukkan bahwa pemulihan pascabencana tidak hanya soal membangun fisik, tetapi juga memulihkan hati.
Solidaritas Warga dan Tantangan Rehabilitasi Pasca Bencana
Di tengah pukulan besar ini, solidaritas masyarakat Sumatera Barat menjadi kekuatan utama. Warga membantu evakuasi, membuka posko, dan berbagi makanan dengan mereka yang kehilangan rumah. Relawan dari berbagai daerah datang membawa kebutuhan dasar, memperlihatkan bahwa kepedulian lintas wilayah tetap hidup. Namun, tantangan besar menanti setelah air surut. Rehabilitasi rumah, pemulihan lahan, serta pembangunan kembali fasilitas publik membutuhkan waktu panjang dan sumber daya besar. Banyak keluarga harus memulai hidup dari awal dengan kondisi terbatas. Meski begitu, semangat untuk bangkit tetap terasa di setiap sudut posko. Warga saling menguatkan, menunjukkan bahwa harapan selalu hadir meski bencana meninggalkan luka mendalam. Inilah wajah kemanusiaan yang muncul ketika alam menguji ketangguhan mereka.


