Serangan DDoS Terbesar Sepanjang Sejarah: Ketika Gelombang Serangan Menguji Ketahanan Internet Dunia

Serangan DDoS Terbesar Sepanjang Sejarah: Ketika Gelombang Serangan Menguji Ketahanan Internet Dunia

TrenHarapan – Kuartal III-2025 menjadi babak baru dalam dunia keamanan siber ketika Cloudflare merilis laporan tentang lonjakan serangan Distributed Denial of Service (DDoS). Di periode ini, lebih dari 8,3 juta serangan berhasil dideteksi dan diblokir sistem pertahanan mereka, jumlah yang belum pernah terjadi sebelumnya. Serangan DDoS bekerja dengan membanjiri server menggunakan trafik permintaan dalam jumlah ekstrem hingga layanan lumpuh. Lonjakan ini tidak hanya menggambarkan intensitas ancaman digital, tetapi juga bagaimana pelaku serangan kini memanfaatkan perangkat terinfeksi dari seluruh dunia untuk melumpuhkan infrastruktur internet. Dengan kenaikan 15 persen dari kuartal sebelumnya dan 40 persen secara tahunan, dunia dipaksa menyadari bahwa serangan siber bergerak jauh lebih cepat daripada pertahanannya.

Aisuru, Botnet Baru yang Mengguncang Dunia Siber

Serangan besar ini sebagian besar berasal dari botnet Aisuru, sebuah jaringan perangkat terinfeksi yang bekerja dalam skala luar biasa. Aisuru menginfeksi jutaan host global, mulai dari komputer pribadi hingga perangkat jaringan, dan menghasilkan serangan ekstrem yang melampaui satu terabit per detik. Dalam puncaknya, trafik mencapai 29,7 Tbps dan 14,1 miliar paket per detik, angka yang sebelumnya dianggap nyaris mustahil. Cloudflare menggambarkan pola ini sebagai “UDP carpet-bombing attack” karena membombardir ribuan port sekaligus. Teknik brutal tersebut membuat banyak sistem pertahanan kewalahan menyesuaikan diri. Aisuru tidak hanya kuat, tetapi juga cerdas, karena mampu mengacak atribut paket data untuk menghindari deteksi. Inilah alasan botnet ini langsung menjadi ancaman global dengan dampak yang dirasakan banyak layanan digital.

“Baca Juga : Harga Jual Kembali iPhone Air Anjlok: Depresiasi Terburuk dalam Seri iPhone 17”

Lonjakan Permintaan Berbahaya dari Indonesia

Salah satu temuan mengejutkan dalam laporan Cloudflare adalah posisi Indonesia sebagai sumber utama serangan DDoS berbasis HTTP pada kuartal III-2025. Dalam lima tahun terakhir, peningkatannya mencapai 31.900 persen angka yang menggambarkan betapa besar pergeseran lanskap ancaman digital di Asia Tenggara. Banyak faktor mungkin berkontribusi, termasuk perangkat IoT yang tidak terproteksi, jaringan publik tanpa keamanan memadai, dan botnet lokal maupun global yang memanfaatkan celah keamanan. Selain Indonesia, beberapa negara Asia lainnya seperti Thailand, Bangladesh, Vietnam, dan India juga berada di daftar teratas. Fenomena ini mengingatkan bahwa Asia kini menjadi pusat aktivitas botnet terbesar di dunia, sekaligus wilayah yang membutuhkan peningkatan literasi dan ketahanan siber secara kolektif.

Daftar Negara yang Paling Sering Menjadi Target

Jika Indonesia dan negara-negara Asia lainnya banyak menjadi sumber serangan, maka China tetap menduduki peringkat pertama sebagai target utama. Infrastruktur digital yang besar dan kompleks membuat negara tersebut sering menjadi incaran para pelaku serangan. Turki dan Jerman menyusul di posisi berikutnya, disertai Brasil dan Amerika Serikat yang kini kembali masuk dalam sepuluh besar. Menariknya, Filipina juga muncul dalam daftar untuk pertama kali, menunjukkan bahwa wilayah serangan semakin meluas. Cloudflare mencatat bahwa pola tersebut mencerminkan evolusi baru dalam strategi pelaku ancaman, yang kini tidak hanya menyerang negara besar, tetapi juga wilayah dengan infrastruktur digital yang sedang berkembang. Setiap serangan bukan hanya upaya mengganggu, tetapi juga percobaan memetakan celah kelemahan global.

Apa yang Membuat Serangan Ini Berbeda?

Serangan DDoS pada kuartal III-2025 tidak hanya mencetak angka tertinggi, tetapi juga memperlihatkan pola teknis yang jauh lebih agresif. Aisuru melakukan bombardir hampir tanpa jeda dan menyebar ke ribuan port, mempersulit sistem untuk membedakan serangan dari permintaan biasa. Selain itu, variasi metodenya membuat serangan terasa seperti “badai digital” yang menghantam dari berbagai arah sekaligus. Cloudflare menyebut ini sebagai titik balik dalam dunia keamanan siber, karena serangan dengan skala puluhan terabit per detik sebelumnya dianggap seperti skenario ekstrem yang jarang terjadi. Kini, serangan semacam itu mulai menjadi pola baru, menuntut penyedia layanan untuk meningkatkan kapasitas pertahanan dan memperbarui sistem pendeteksian secara berkala.

“Simak Juga : Honor Magic 8 Lite Resmi Dirilis: Baterai 7.500 mAh dan Ketahanan Ekstrem Jadi Daya Tarik Utama”

Ancaman yang Menguji Kesiapan Dunia Digital

Laporan Cloudflare menjadi pengingat bahwa internet modern kini berada di persimpangan kritis. Di satu sisi, teknologi berkembang begitu cepat dan mempermudah hidup manusia. Namun di sisi lain, kerentanan juga bertambah besar ketika semakin banyak perangkat terhubung tanpa perlindungan memadai. Serangan skala besar seperti ini bukan hanya merugikan ekonomi, tetapi juga memengaruhi layanan publik, bisnis, bahkan kehidupan sehari-hari pengguna. Para ahli menekankan perlunya kolaborasi global, mulai dari pemerintah, perusahaan, hingga pengguna individu. Tanpa langkah kolektif, serangan DDoS berpotensi menjadi ancaman rutin yang semakin merusak fondasi internet. Kuartal III-2025 mungkin menjadi rekor hari ini, tetapi bisa jadi hanya langkah awal dari gelombang yang lebih besar.

Membangun Ketahanan Siber Bersama

Di tengah meningkatnya ancaman, langkah perlindungan harus dimulai dari tingkat paling dasar. Pengguna perlu memahami pentingnya pembaruan perangkat, penggunaan jaringan aman, dan menghindari instalasi aplikasi berisiko. Perusahaan harus memperkuat sistem pertahanan, memonitor trafik secara real-time, dan berinvestasi pada teknologi mitigasi modern. Pemerintah juga memiliki peran besar dalam mendorong regulasi keamanan dan membangun kerja sama internasional. Serangan DDoS terbesar sepanjang sejarah ini bukan sekadar data statistik, tetapi peringatan nyata tentang rapuhnya dunia digital jika tidak dilindungi dengan baik. Ketahanan internet adalah tanggung jawab bersama, dan laporan Cloudflare menjadi momentum penting untuk membangun kesadaran itu.