KPK Telusuri Aset Satori dalam Kasus Dugaan Korupsi Dana CSR BI-OJK

KPK Telusuri Aset Satori dalam Kasus Dugaan Korupsi Dana CSR BI-OJK

TrenHarapan – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menunjukkan keseriusannya dalam membongkar praktik korupsi pejabat publik. Lembaga ini menelusuri kepemilikan aset Anggota DPR RI Fraksi Nasdem, Satori, yang terlibat dalam kasus dugaan korupsi dana Corporate Social Responsibility (CSR) Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Pemeriksaan dilakukan terhadap delapan saksi di Kantor Kepolisian Resor Cirebon Kota, Selasa (28/10/2025). Juru Bicara KPK Budi Prasetyo mengatakan bahwa langkah ini merupakan bagian dari upaya pemulihan keuangan negara (asset recovery). “Penyidik meminta keterangan kepada para saksi terkait kepemilikan aset Tersangka ST (Satori),” ujarnya. KPK ingin memastikan seluruh aset yang diduga hasil korupsi dapat disita dan dikembalikan kepada negara. Langkah ini menjadi wujud nyata komitmen KPK dalam menegakkan hukum dan menjaga keuangan publik.

Pemeriksaan Saksi di Cirebon, Mengurai Jejak Kekayaan Tersangka

KPK memeriksa delapan saksi yang diduga mengetahui kepemilikan aset milik Satori. Pemeriksaan dilakukan di Cirebon, daerah yang diyakini menjadi lokasi beberapa aset tersangka. Para saksi tersebut terdiri dari unsur pemerintahan dan swasta. Mereka antara lain Sarifudin, petugas PPATS Kecamatan Palimanan; Suhandi dan Sandi Natakusuma dari Desa Panongan; serta Deni Harman dan Suhanto dari Desa Pegagan. Selain itu, terdapat saksi dari kalangan swasta seperti Hj. Muniah, Mohamad Mu’min, Fatimatuzzahroh, Abdul Mukti, dan Kiki Azkiyatul. Dari keterangan mereka, penyidik berupaya melacak sumber kekayaan tersangka dan memverifikasi aset yang mencurigakan. KPK ingin memastikan tidak ada harta hasil gratifikasi yang disamarkan melalui pihak lain atau lembaga fiktif.

“Baca Juga : Satu Tahun Pemerintahan Prabowo: Polri Ungkap 49.306 Kasus Narkoba dan Tetapkan 65.572 Tersangka”

Kasus Dana CSR BI-OJK yang Menghebohkan

Kasus dugaan korupsi dana CSR Bank Indonesia dan OJK mencuat sejak pertengahan 2025. KPK menilai, ada penyalahgunaan dana sosial yang seharusnya digunakan untuk kegiatan masyarakat. Dua anggota DPR RI, Satori dan Heru Gunawan, ditetapkan sebagai tersangka pada Kamis (7/8/2025). Berdasarkan temuan KPK, keduanya mengelola sebuah yayasan yang menerima dana CSR dari mitra kerja Komisi XI DPR RI, yaitu BI dan OJK. Namun, dana tersebut tidak digunakan sesuai proposal kegiatan sosial. Dana yang semestinya membantu masyarakat justru dialihkan untuk kepentingan pribadi. Kasus ini menimbulkan keprihatinan publik karena dana sosial yang seharusnya membawa manfaat malah disalahgunakan untuk memperkaya diri.

Modus Gratifikasi dan Pencucian Uang yang Terbongkar

KPK menduga dana CSR itu mengalir ke yayasan yang dikelola oleh Satori dan Heru Gunawan, lalu dialihkan menjadi berbagai bentuk aset pribadi. Sejumlah barang mewah dan properti ditemukan selama proses penyidikan. Bahkan, KPK telah menyita 15 mobil mewah yang diduga dibeli dengan uang hasil gratifikasi. Penyidik juga menemukan indikasi tindak pidana pencucian uang (TPPU), yang digunakan untuk menyamarkan asal-usul dana. Kedua tersangka dijerat dengan Pasal 12B UU Pemberantasan Tipikor, Pasal 55 Ayat 1 KUHP, serta UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU. Pola semacam ini menunjukkan bahwa pelaku korupsi tak hanya berusaha menikmati hasil kejahatan, tetapi juga berupaya menutupi jejak melalui transaksi keuangan yang rumit.

Pemulihan Keuangan Negara Jadi Fokus Utama

Dalam setiap kasus korupsi, KPK selalu menempatkan pemulihan keuangan negara sebagai prioritas. Langkah penelusuran aset terhadap Satori menjadi bagian penting dari strategi asset recovery. Budi Prasetyo menegaskan, penyidik berupaya mengidentifikasi semua harta yang berasal dari gratifikasi dan pencucian uang untuk kemudian disita dan dilelang bagi negara. Pendekatan ini bukan hanya bentuk hukuman, tetapi juga cara mengembalikan rasa keadilan publik. KPK bekerja sama dengan notaris, lembaga keuangan, dan instansi daerah untuk memastikan penyitaan berjalan sesuai aturan. Dengan cara ini, dana publik yang telah diselewengkan tidak akan hilang begitu saja, melainkan kembali kepada masyarakat yang berhak.

“Simak Juga : Bank Indonesia Catat Modal Asing Keluar Rp940 Miliar dari Pasar Keuangan Nasional”

Transparansi dalam Penyaluran Dana Sosial

Kasus ini menjadi pengingat betapa pentingnya transparansi dalam penyaluran dana sosial dan CSR. Program sosial yang seharusnya membantu masyarakat justru rawan disalahgunakan bila tanpa pengawasan. Para pemerhati antikorupsi menilai bahwa perlu adanya sistem pelaporan terbuka agar setiap penyaluran dana bisa dipantau publik. KPK pun mendorong peningkatan pengawasan dari lembaga keuangan dan pemerintah daerah. Di sisi lain, masyarakat juga diharapkan lebih aktif memantau kegiatan sosial di lingkungannya. Kepercayaan publik terhadap lembaga negara hanya bisa tumbuh jika seluruh program dijalankan dengan jujur dan terbuka. Kasus ini membuktikan bahwa pengawasan publik adalah bagian penting dalam mencegah kebocoran dana sosial.

Nilai Moral di Balik Kasus CSR BI-OJK

Lebih dari sekadar pelanggaran hukum, kasus ini menyentuh nilai moral dan tanggung jawab pejabat publik. Dana CSR sejatinya merupakan bentuk kepedulian lembaga keuangan untuk masyarakat yang membutuhkan. Ketika dana tersebut disalahgunakan, artinya ada kepercayaan yang dikhianati. KPK berharap pengungkapan kasus ini menjadi pelajaran bagi pejabat lain agar tidak bermain dengan uang publik. Masyarakat pun menuntut agar proses hukum dilakukan transparan dan tuntas. Setiap rupiah yang dikorupsi adalah hak rakyat yang dirampas. Di tengah harapan masyarakat akan pemerintahan bersih, KPK terus menjadi simbol perlawanan terhadap keserakahan. Perjuangan lembaga ini bukan hanya soal hukum, tetapi juga soal menjaga moral bangsa agar tetap tegak di atas kejujuran dan keadilan.