Kepala Bappeda Bojonegoro Disetrap Mendagri Tito Soal Realisasi Anggaran
TrenHarapan – Rapat Koordinasi (Rakor) yang digelar di Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat, Senin (27/10/2025), menjadi sorotan publik setelah Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian secara langsung menyoroti kinerja anggaran sejumlah daerah. Rakor ini sebenarnya rutin digelar untuk mengevaluasi capaian realisasi pendapatan dan belanja daerah, namun kali ini suasananya menjadi lebih panas ketika Kabupaten Bojonegoro masuk ke dalam daftar daerah dengan realisasi belanja yang jauh di bawah pendapatan.
Tito membacakan satu per satu data dari provinsi hingga kabupaten/kota, lengkap dengan contoh baik dan buruk. Ia menyampaikan bahwa idealnya realisasi pendapatan dan belanja berjalan seimbang, mencerminkan tata kelola keuangan daerah yang sehat dan produktif.
Bojonegoro Disorot: Pendapatan Tinggi, Belanja Rendah
Dalam pemaparannya Bappeda Bojonegoro, Mendagri Tito menyoroti data mengejutkan dari Kabupaten Bojonegoro. Di satu sisi, realisasi pendapatan daerah mencapai 86,59 persen, angka yang tergolong tinggi dan patut diapresiasi. Namun, di sisi lain, realisasi belanja daerah hanya menyentuh 40,80 persen, menciptakan kesenjangan yang mencolok.
Tito menyebut bahwa ketidakseimbangan seperti ini bisa mengindikasikan masalah serius dalam manajemen anggaran. Anggaran yang tidak dibelanjakan tepat waktu berarti program pembangunan dan layanan masyarakat tertunda, bahkan bisa menggagalkan proyek strategis daerah.
“Baca Juga : Presiden Prabowo Ajak ASEAN Bersatu Hadapi Ketidakpastian Global”
Sekda Absen, Kepala Bappeda Bojonegoro Maju ke Depan
Melihat ketimpangan itu, Tito meminta Sekretaris Daerah (Sekda) Bojonegoro maju untuk memberikan penjelasan langsung. Namun, karena Sekda sedang sakit dan tidak bisa hadir, Kepala Bappeda Bojonegoro, Achmad Gunawan Ferdiansyah, yang kemudian diminta mewakili.
Kehadiran Achmad membawa suasana berbeda. Ia langsung diminta menjelaskan secara terbuka di depan peserta rakor alasan rendahnya realisasi belanja daerah, yang begitu jomplang dibanding pendapatan.
Alasan Kepala Bappeda Tak Meyakinkan Mendagri
Dalam penjelasannya, Achmad menyebut bahwa pembayaran proyek infrastruktur biasanya dilakukan menjelang akhir tahun, setelah proyek selesai. Ini, menurutnya, menjadi sebab utama mengapa realisasi belanja terlihat rendah di pertengahan tahun.
Namun, Tito menanggapinya dengan skeptis. Ia menyatakan bahwa alasan tersebut terlalu klise dan tidak logis jika gap-nya mencapai lebih dari 40 persen. Menurut Tito, dalam praktik normal, selisih antara pendapatan dan belanja tidak akan sejauh itu, biasanya hanya sekitar 20 persen.
Tito: “Jangan Bohongi Kami, Kami Juga Pernah Jadi Kepala Daerah”
Tito kemudian menegaskan bahwa dirinya, dan para pejabat di sekitarnya, bukan orang baru di dunia pemerintahan daerah. Ia menyebut Wamendagri Bima Arya yang pernah menjadi Wali Kota selama 10 tahun, serta Dirjen Keuangan Daerah, Fatoni, yang telah menjadi Penjabat Gubernur di empat provinsi.
Dengan penuh ketegasan, Tito berkata: “Jadi sudah paham, jangan bohong-bohongi juga gitu,” yang disambut tawa ringan dari peserta rakor. Ungkapan itu menandakan bahwa para pejabat pusat tidak akan begitu saja menerima alasan teknis tanpa pembuktian yang kuat.
“Simak Juga : Gibran Rakabuming Tanam Mangrove di Banten: Aksi Nyata Lindungi Pesisir Indonesia”
Evaluasi Kinerja yang Menjadi Peringatan Serius
Insiden ini bukan hanya teguran biasa. Bagi banyak pihak, ini menjadi peringatan serius bagi kepala daerah dan jajarannya agar lebih disiplin dan bertanggung jawab dalam menyusun serta merealisasikan APBD.
Tito pun berharap ke depan tidak ada lagi daerah yang menyimpan dana di kas daerah atau bank tanpa direalisasikan, padahal rakyat menunggu pembangunan dan pelayanan publik. Ia menggarisbawahi bahwa dana daerah bukan untuk ditimbun, melainkan harus dibelanjakan secara efektif dan efisien demi kesejahteraan masyarakat.
Transparansi dan Akuntabilitas Adalah Kunci
Kejadian di Rakor IPDN ini memperlihatkan bahwa pemerintah pusat, khususnya Kemendagri, kini semakin mendorong transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan daerah. Bojonegoro hanya salah satu contoh dari banyak daerah yang masih harus berbenah dalam realisasi belanja publik.
Untuk itu, setiap kepala OPD, termasuk Bappeda, wajib memastikan bahwa perencanaan anggaran benar-benar berdampak bagi masyarakat. Momen ini juga bisa menjadi refleksi bersama agar pengawasan anggaran lebih diperketat dan program pembangunan tidak hanya bagus di atas kertas, tapi juga nyata di lapangan.


