Krisis Lapangan Kerja Berkualitas di Indonesia

Krisis Lapangan Kerja Berkualitas di Indonesia

TrenHarapan – Indonesia tengah menghadapi fenomena yang mengkhawatirkan: meskipun lapangan kerja terus tercipta, kualitasnya justru kian menurun. Berdasarkan data terbaru dari Aliansi Ekonom Indonesia, sebanyak 80% dari 14 juta lapangan kerja baru yang tercipta sejak 2018 hingga 2024 berasal dari sektor informal berbasis rumah tangga. Artinya, meski terlihat positif dari segi jumlah, pekerjaan yang tersedia sebagian besar tak menjamin keberlanjutan karier, tidak memiliki jaminan sosial, serta memberikan upah di bawah rata-rata nasional.

Sektor berbasis rumah tangga ini didominasi oleh jenis pekerjaan dengan status kontrak yang tak jelas, rawan PHK, dan sering kali tidak menyediakan fasilitas dasar seperti asuransi kesehatan. Fenomena ini memunculkan dilema: bagaimana bisa negara disebut mengalami pertumbuhan ekonomi jika masyarakatnya justru terjebak dalam pekerjaan yang tidak layak? Di balik data angka pengangguran yang stagnan atau menurun, tersembunyi persoalan yang jauh lebih serius: kualitas pekerjaan yang buruk.

Generasi Muda, Korban Terbesar Penyusutan Kesempatan

Salah satu kelompok yang paling terdampak dalam situasi ini adalah generasi muda Indonesia, terutama mereka yang berusia 15 hingga 24 tahun. Menurut data yang disampaikan oleh ekonom Vivi Alatas, tingkat pengangguran pada kelompok usia ini selalu berada di atas angka 15% selama delapan tahun terakhir. Ini merupakan angka yang mencemaskan, mengingat usia ini seharusnya menjadi masa paling produktif untuk menyiapkan karier dan masa depan.

Tak hanya itu, 25% dari anak muda di Indonesia dikategorikan sebagai “tidak produktif”, artinya mereka tidak bekerja, tidak sekolah, tidak mengikuti pelatihan, dan tidak sedang mempersiapkan diri untuk dunia kerja. Kondisi ini menggambarkan adanya stagnasi sosial yang serius di kalangan remaja dan dewasa muda, terlebih pada kelompok perempuan. Tanpa intervensi kebijakan yang tegas, generasi ini berpotensi terjebak dalam siklus kemiskinan struktural.

“Baca Juga : Haru Biru Perpisahan Sri Mulyani di Kemenkeu”

Dominasi Sektor Informal Perlu Jadi Alarm

Sektor informal memang memiliki peran dalam menampung tenaga kerja saat sektor formal belum mampu menyediakan pekerjaan cukup banyak. Namun, dominasi sektor informal justru menjadi indikator lemahnya struktur ekonomi nasional. Dari data Sakernas 2018–2024, terlihat jelas bahwa lapangan kerja berbasis rumah tangga mendominasi. Tanpa sistem penggajian yang layak, tanpa perlindungan jangka panjang, dan tanpa jenjang karier, pekerja di sektor ini rentan terhadap eksploitasi.

Fenomena ini juga menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak serta-merta menciptakan kesejahteraan. Jika sektor formal yang idealnya menyerap tenaga kerja dengan keahlian tertentu justru melemah, maka pendidikan tinggi sekalipun tidak menjamin kehidupan yang lebih baik bagi lulusan muda. Akibatnya, jurang antara pendidikan dan dunia kerja semakin melebar.

Minimnya Jaminan Sosial, Cerminan Ketimpangan

Salah satu indikator penting dari kualitas pekerjaan adalah keberadaan jaminan sosial seperti asuransi kesehatan dan perlindungan ketenagakerjaan. Namun, kenyataannya, 25% pekerja sektor publik dan 31% pekerja swasta belum memiliki akses terhadap jaminan dasar ini. Hal ini sangat ironis, terutama bagi pekerja di sektor publik yang seharusnya menjadi teladan dalam sistem ketenagakerjaan nasional.

Kurangnya jaminan sosial juga berdampak pada produktivitas dan kesejahteraan pekerja. Tanpa perlindungan, risiko terhadap kesehatan atau kecelakaan kerja bisa menjadi beban berat, terutama bagi keluarga berpenghasilan rendah. Ketika sistem belum mampu memberi jaminan bagi yang bekerja, bagaimana mungkin ia dapat memberikan solusi bagi mereka yang masih menganggur?

Pekerjaan Kelas Menengah ke Bawah Mendominasi

Perwakilan Aliansi Ekonom Indonesia, Elan Satriawan, menjelaskan bahwa sebagian besar pekerjaan baru menyasar kelompok kelas menengah ke bawah. Ini menandakan terjadinya penyempitan ruang gerak bagi mereka yang memiliki pendidikan tinggi dan keterampilan profesional. Pasar tenaga kerja Indonesia seolah terjebak dalam pola stagnasi yang berulang: menciptakan pekerjaan, tapi bukan untuk meningkatkan kualitas hidup.

Jika kondisi ini dibiarkan, bukan tak mungkin Indonesia akan mengalami krisis tenaga kerja berkualitas di masa mendatang. Para talenta muda akan kehilangan motivasi untuk menempuh pendidikan tinggi karena tidak adanya jaminan pekerjaan layak. Dan pada akhirnya, kita akan kehilangan peluang untuk membangun SDM unggul yang menjadi syarat utama Indonesia Emas 2045.

“Simak Juga : Golkar Dukung Penghentian Tunjangan Perumahan Rp50 Juta, Sebut Momentum DPR Berbenah”

Solusi dan Arah Kebijakan ke Depan

Menghadapi situasi ini, pemerintah bersama sektor swasta harus segera bertindak. Dibutuhkan kebijakan pro-pertumbuhan lapangan kerja berkualitas yang tidak hanya berfokus pada kuantitas, tapi juga menjamin hak-hak dasar pekerja. Selain itu, reformasi ketenagakerjaan di sektor informal perlu digalakkan, agar mereka juga dapat menikmati jaminan sosial dan upah yang layak.

Di sisi lain, program pelatihan dan pengembangan keterampilan untuk pemuda harus ditingkatkan. Negara tidak bisa hanya mengandalkan angka statistik pengangguran turun jika kenyataannya produktivitas dan kesejahteraan tetap stagnan. Perlu keberanian politik untuk menempatkan kualitas pekerjaan sebagai indikator utama pembangunan ekonomi nasional, bukan hanya angka pertumbuhan PDB semata.